Senin, 20 Februari 2017

”Pendidikan Luar Sekolah, Bisa Didalam Sekolah (?)”





~Sebuah catatan kecil dari anggia putri


Banyak perdebatan muncul ntah karena memang sedang beradu argumen atas dasar keilmuan atau memang untuk keseruan sebuah diskusi semata (Bhs jawa: Abang-abang lambe). Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang pada dasarnya menganut pemikiran-pemikiran yang mengarah pada sebuah ‘pembebasan’ melalui proses-proses pendidikan. Beberapa klaim hangat lainnya juga menjadi sorotan utama yakni bahwa PLS menyoal bagaimana pelaksanaan dijalur pendidikan nonformal dan tatalaksana sebagai orang lapangan yang menapaki jalan pendidikan nonformal.
Seseorang (Mahasiswa) yang kuliah jurusan PLS tentunya memiliki partisipasi aktif dalam membicarakan tentang apa itu pendidikan khususnya PLS, belum lagi punya sistem atau tata aturan dalam perkuliahan yang disebut mata kuliah yang didalamnya mengandung unsur-unsur doktrinisasi agar kita benar-benar terbentuk ­untuk menjadi tenaga atau ‘teknisi’ pendidikan luar sekolah,ya memang tidak semua merasa demikian. Namun apa jadinya jika seseorang tersebut saat ini bergelut malah dalam bidang yang tak lepas dari keformalan ?
Anggia Putri Farucha, ialah salah satu ‘seseorang’ itu dari sekian banyak ‘seseorang’ yang ada, ia adalah Mahasiswi PLS Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang angkatan 2015. Saat ini anggia (begitu sapaan akrabnya) menjadi salah satu guru di SMP PGRI 3 kepanjen. Saat diajak diskusi anggia sangat antusias sekali membicarakan tentang dunia PLS yang ia ‘gandrungi’ sekarang ini ternyata bisa diimplementasikan didalam keadaan formal sekalipun. Mahasiswi kelahiran malang 20 tahun silam ini mengungkapkan PLS itu memang didalamnya kita belajar tentang apa itu nonformal namun dibalik itu semua seolah banyak mematahkan kungkungan PLS hanya dilingkup kenonformlan saja.
Keadaan lapangan memang tak sebaik teori yang bersama kita bicarakan pada umumnya, pada proses mengajarnya ia selalu menggunakan etika-etika atau lebih mengkerucut lagi kepada teknik-teknik yang ia dapatkan selama diperkuliahan saat ini. Dalam kesempatan diskusi kami ia katakan menjadi seorang guru itu tidak mudah apa lagi yang kini status nya adalah honorer, katanya jadi guru honorer itu “banyak makan ati” ungkapnya sambil tertawa gurau. Ada murid yang polos,nakal, kecepatan menangkap dari apa yang ia ajarkan hingga lambatnya dari apa ia ajarkan dsb. Maka dari itu ia selalu menggunakan teknik-teknik ke PLSan contohnya untuk mengetahui ‘harus diapakan murid yang seperti ini?’ ia menggunakan need assesment ia melakukan pendekatan persuasif kepada murid-muridnya agar ia sebagai guru mengetahui apa yang dibutuhkan muridnya, ketika ia sudah bisa menyimpulkan maka segera ia berusaha memfasilitasi kebutuhan murid-muridnya, cara ini ia gunakan setelah diperolehnya dalam matakuliah Identifikasi Kebutuhan dan Sumber Belajar Masyarakat (IKSBM).
Anggia sudah cukup lama beraktifitas sebagai pengajar hanya saja pada tingkat/jenjang dan satuan-satuan yang berbeda, dari SMP ia sudah menjadi penggajar ngaji di sebuah madrasah diniyah, hingga saat ini menjadi guru TIK di SMP PGRI 3 Kepanjen. Lantas apa yang membuat ia bertahan untuk tetap menjadi pendidik sekalipun statusnya honorer atau bukan?, tak lain adalah jiwa-jiwa pengabdian yang ia miliki ditambah lagi sebagai seorang pemudi ia memiliki idealisme yang berorientasi pada pengalaman. Tak salah jika ada plesetan kata kalo PLS itu Pendidikan Luas Sekali, karena orang-orang PLS itu luwes-luwes harus pandai-pandai berkamoflase disetiap bidang yang ada. Kata anggia.
Dari pengalaman yang disampaikan anggia, apa yang mulai muncul dibenak kita? Semua tiada yang salah dan tiada pembenaran yang mutlak untuk proses didik mendidik, karena setiap kehidupan ini adalah ladang sosial dimana kita saling berinterkasi antar sesama dan semua itu adalah terapan. Jangan lah berdebat teori kecuali itu menjadi pedoman pelaksanaan, karena Indonesia disetiap sisinya membutuhkan orang-orang yang luwes  untuk ‘membangun’ lewat pendidikan.(w3n)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar